Islamabad, tahun 1990. Suatu sore di musim semi.
Duduk termenung di lobby L'alliance Francais, Islamabad,
bersiap menghadapi ujian conversation level 3. Kata orang, ujian di level
ini termasuk yang paling berat. Makanya walaupun banyak PR, saya tetap menyisakan
waktu untuk mempersiapkan diri. Dan mendekati detik-detik ujian perasaan pun jadi
dag-dig-dug.
Tanpa diduga, tiba-tiba datang dua anak perempuan Indonesia
menawarkan tiket konser sekolah. Keduanya cantik dalam seragam SMA mereka. Mereka siswi Sekolah Indonesia yang dikelola KBRI. Bedanya hanya di warna kulit. Yang satu putih yang satu lagi sawo matang. Setahu
saya, keduanya adalah puteri seorang diplomat yang pindah tugas dari sebuah
negara di Afrika barat, Keduanya juga ikut kursus bahasa Perancis disini, guna melanjutkan dan
memperdalam apa yang mereka dapatkan dari negara sebelumnya. Mereka diterima di
level yang lebih tinggi dari saya.
***
Saya tidak terlalu mengenal mereka. Kesibukan kuliah di
fakultas ekonomi (fakultas berat yang dikenal paling tidak favorit diantara
rekan2 yang umumnya berlatar belakang pesantren) membuat saya tidak punya banyak waktu
untuk bergaul dengan para pegawai kedutaan dan keluarganya. Kita ngumpul
paling-paling kalau ada acara seperti lebaran, 17 agustusan atau maulid. Kalaupun
saya sering ikut teman-teman olahraga jumat pagi di lapangan milik kedutaan,
saya lebih fokus pada perbaikan teknik bermain bola volley daripada ngobrol dan
becanda. Selesai volley, selesai pula urusan. Terus cari buah segar di Juma
bazaar di sekitar Aabpara, yang kalau musim dingin tiba, murah-murah harganya.
***
Kehadiran mereka secara tiba-tiba tentu saja membuat
kaget. Kenal saja tidak, tiba-tiba ngajak ngobrol dan nawarin tiket, hanya
karena -kata mereka- saya terlihat sering main gitar dan pasti suka musik. Karuan
saja konsentrasi saya jadi buyar. Persiapan ujian yang sudah dilakukan sejak
malam, dengan memanfaatkan sisa waktu mengerjakan PR-PR, hilang begitu saja. Saya
gugup dan tidak bisa banyak bicara. Akhirnya dengan rasa menyesal saya tolak
tawaran keduanya. Padahal buat saya ide konser pelajar SMP-SMA itu menarik dan
spektakuler. Di negeri konservatif -dan dengan bahasa yang kita sendiri malas
mempelajarinya- seperti Pakistan ini, hiburan ala Indonesia sekecil apapun
pasti akan jadi tontonan yang mengasyikkan.Keduanya kemudian berlalu dan terlihat kecewa, sedangkan saya harus berjuang mengembalikan sisa2 hafalan yang berserakan akibat interupsi dadakan dari dua gadis cantik itu. Dan apa yang saya khawatirkan pun terjadi. Ujian kenaikan level yang saya lalui jadi tidak mudah. Walaupun saya pernah baca semuanya tadi malam, tapi buyarnya konsentrasi sedikit banyak ada pengaruhnya juga. Tapi ya sudahlah, pikir saya. Que sera sera. Yang penting lulus dan bisa naik ke level berikutnya.
Saya pulang ke kampus dan mampir terlebih dahulu di rumah
kediaman pegawai KBRI lain, yang lebih saya kenal. Karena masih tertarik dengan
ide konser pelajar, akhirnya saya beli juga tiket konser itu 2 lembar, dari
salah seorang puteranya (yang juga siswa SMA Indonesia), yang kebetulan sering
main gitar bareng. Saya berniat mengajak rekan Obeng (nama panggilan untuk Ahmad Zubair Murikh untuk adik kelas di fakultas ekonomi asal Bekasi) untuk ikut
nonton. (Tapi ujung-ujungnya malah Obeng
yang punya kesempatan menyaksikan konser itu. Saya sendiri harus konsentrasi
pada persiapan ujian ekonometrik di hari berikutnya. Tiket yang satu lagi akhirnya diberikan Obeng
pada sohib Chiyar Hijazi, teman fakultas lain yang seangkatan asal Makassar, yang memang kebetulan
punya waktu senggang).
***
Sore itupun dari Alliance Francais saya mampir juga ke asramanya. Padahal kalau
pulang dari sana saya harus mengambil rute yang lebih panjang dan susah.
Obeng begitu senang menerima tiket itu, meskipun jelas tergambar rasa heran di wajahnya. Sebab, tidak biasanya saya tertarik dengan kegiatan di kedutaan walaupun dia tahu saya suka musik. Dia bertanya dari mana saya mendapatkan tiket itu. Saya bilang saya beli dari Sapto walaupun sebelumnya ada dua siswi SMA Indonesia yang menawarkan untuk beli di tempat kursus bahasa Prancis.
Obeng begitu senang menerima tiket itu, meskipun jelas tergambar rasa heran di wajahnya. Sebab, tidak biasanya saya tertarik dengan kegiatan di kedutaan walaupun dia tahu saya suka musik. Dia bertanya dari mana saya mendapatkan tiket itu. Saya bilang saya beli dari Sapto walaupun sebelumnya ada dua siswi SMA Indonesia yang menawarkan untuk beli di tempat kursus bahasa Prancis.
Mendengar jawaban itu mendadak wajah Obeng jadi serius.
“Mereka kursus bahasa Perancis juga?”
“Mereka kursus bahasa Perancis juga?”
“Kayaknya begitu, cuma levelnya lebih tinggi.”
“Tau namanya?”
Kini si tall man itu tersenyum. Dengan badan yang jangkung dan rambut acak-acakan seperti itu senyumnya seolah mengejek kepolosan saya.
Kini si tall man itu tersenyum. Dengan badan yang jangkung dan rambut acak-acakan seperti itu senyumnya seolah mengejek kepolosan saya.
“Ya tahu dong. Aku juga tau koq, keduanya kakak beradik.
Cuma yang mana kakaknya dan yang mana adiknya, aku ngga tau.”
"Joy…joy," katanya dengan menyebut nama
panggilan saya waktu di pondok, "yang namanya kuper (kurang pergaulan) itu
jangan dipelihara, tau...?”
"Emang kenapa?"tanya saya polos.
“Apa ente nggak tahu, kedua cewek itu jadi primadona teman-teman
disini?"
“Masak sih?”
Obeng geleng-geleng kepala dengan
jawabanku. Masih dengan senyumnya yang sinis.
“Ente nggak nanya-nanya?”
“Nggak..... Nanya apaan?”
"Apa keq, basa-basi lah, namanya juga orang Indonesia. Misalnya namanya, darimana
asalnya …. Buat masti-in aja.”
“Nggak. Buat apaan... kan udah tau?”
“Ya ampun. Ente mestinya bisa improvisasi lah. Ente kan
seneng jazz, musik yang banyak
improvisasinya. Masak sama cewek mesti pake statistik, kaku begitu".
"Abis, orang mau ujian ditawarin beli tiket. Cewek
pula yang nawarin.” (Ketusku keluar). “ Tau sendiri aku paling grogi kalau sama
cewek."
Kali ini Obeng tertawa keras (Brengsek tu anak)
Kali ini Obeng tertawa keras (Brengsek tu anak)
“Ya beli aja, kan bisa jadi modal. Terus
pendekatan deh...”
“Gila… Ente pikir
mereka matre ya? Bokapnya kan diplomat. ... Lagian kalau aku beli apa terus mereka
pergi begitu aja? Ntar ngobrol panjang lagi… Bisa ancur ujianku”
Obeng ketawa geli.
"Kalau grogi begitu, itu tandanya ente naksir. Hati-hati lho..."
Kali ini ekspresinya serius lagi.
"Kalau grogi begitu, itu tandanya ente naksir. Hati-hati lho..."
Kali ini ekspresinya serius lagi.
"Heh, naksir? Kenal juga nggak... Emang kenapa pake
hati-hati segala?"
"Wah kalau bener ente naksir, bisa jadi all-Bekasi
final neh".
"Maksudnya? Ente naksir juga…?"
Kali ini saya yang bingung karena nggak ngerti apa yang dikatakannya.
Kali ini saya yang bingung karena nggak ngerti apa yang dikatakannya.
Obeng ketawa lagi, semakin kencang. (Kacau ni anak. Dari dulu
kerjanya memang suka ngerjain temen kayak saya)
"Joy, sejak kapan ane berani naksir sama kembang desa?” tanyanya sambil cengengesan.”Kita kan proletar, nggak bisa lah kita keep
up with the johns …”
(Huh, belagu. Mentang-mentang lulusan LIA level 6)
(Huh, belagu. Mentang-mentang lulusan LIA level 6)
“Lha terus, siapa donk yang lagi kompetisi?”
“Payah ah. Makanya bergaul... jangan di perpustakaan
melulu. Udah deh, ntar ana ceritain di konser aja. Tuh dicariin anak Afsel yang
mau ngerjain pe-er statistik. Katanya dia tadi ke asrama Faisal Masjid, entenya
ngga ada."
***
Seminggu setelah
acara konser yang tidak jadi saya tonton itu Obeng datang ke asrama saya, di
bawah bukit Margala, di samping Faisal Mosque, masjid yang strukturnya paling spektakuler di seantero Pakistan. Ditemani udara sejuk musim semi dan kopi susu yang hangat,
kami pun ngobrol semalam suntuk. Ada juga Syamsul Falah, junior lain di fakultas ekonomi dari
Bekasi. Saya ingat sekali saat itu malam Jumat (malam libur di Pakistan),
karena habis Subuh ada teman yang namanya Fikri, jago smash asal Madura,
mengajak main volley di kedutaan. Tapi saya tolak karena ngantuk...
Tidak banyak cerita yang menarik dari Obeng. Selebihnya
adalah kisah cinta para remaja-mahasiswa Indonesia di Islamabad dan persaingan diantara mereka. Sepanjang obrolan, saya merasa seperti berada di dunia yang
berbeda dari yang Obeng ceritakan, alias ngga nyambung. Saya pikir semua itu tidak
ada kaitannya dengan kesulitan saya dalam memahami teori-teori ekonomi. Bisa
jadi Obeng benar, saya ini kurang bergaul. Padahal Islamabad ini kota kecil. Hal-hal yang seharusnya sudah diketahui lewat rekan-rekan, saya malah ketinggalan.
Tapi saya pikir terlalu mahal rasanya mempertaruhkan kesempatan kuliah disini dengan banyak hiburan yang hanya sekejap menghilangkan rasa penat. Padahal masa depan kita juga belum pasti setelah pulang dari Pakistan, meskipun kita sukses menaklukkan “rimba perkuliahan” (istilah Obeng untuk dunia universitas). Apa yang bisa dibanggakan dari seorang sarjana ekonomi lulusan Islamic University di Pakistan? Selain itu, rasanya saya terlalu tua untuk hal seperti ini, karena masa remaja saya udah lewat. Yang tersisa hanyalah tanggungjawab terhadap orangtua dan ummat…
Tapi saya pikir terlalu mahal rasanya mempertaruhkan kesempatan kuliah disini dengan banyak hiburan yang hanya sekejap menghilangkan rasa penat. Padahal masa depan kita juga belum pasti setelah pulang dari Pakistan, meskipun kita sukses menaklukkan “rimba perkuliahan” (istilah Obeng untuk dunia universitas). Apa yang bisa dibanggakan dari seorang sarjana ekonomi lulusan Islamic University di Pakistan? Selain itu, rasanya saya terlalu tua untuk hal seperti ini, karena masa remaja saya udah lewat. Yang tersisa hanyalah tanggungjawab terhadap orangtua dan ummat…
Lalu hari-haripun berlalu seperti biasa dan saya kembali
tenggelam dalam kegiatan kampus.
*******
Hari ini di Jakarta 24 tahun kemudian.
Sebuah sms muncul di hp saya, isinya memperkenalkan diri
sebagai mantan siswi SIIP dan ingin hadir dalam acara reuni masyarakat
Indonesia yang disponsori KBRI Islamabad. Tadinya saya tidak memperhatikan
siapa pengirimnya. Ah, paling-paling anak SIIP lainnya. Setelah dua tiga kali
sms, baru saya sadar rupanya pengirimnya adalah salah satu dari kedua gadis SMA
yang dulu saya jumpai di L'lliance Francais. Mereka mau ikut reuni masyarakat
Indonesia yang pernah tinggal di Pakistan, yang disponsori oleh KBRI Islamabad.
Kebetulan saya jadi kordinatornya. Saya sms kembali sambil meyakinkan bahwa
mereka ditunggu sampai jam 4 sore. Saya minta bantuan Adam Bakhtiar, kordinator
lain untuk menunggu di luar, sebab dia juga menerima sms yang sama.
Sayangnya takdir menentukan kita tidak bisa bertemu.
Karena, walaupun keduanya datang tapi mereka tidak lama berada disitu. Saya pun
tidak sempat menemui mereka. Kalaupun kita bertemu belum tentu juga saya
mengenali keduanya.
Hujan deras yang mengguyur Jakarta sejak semalam
sebelumnya benar-benar merupakan ujian
buat orang untuk hadir. Jalan sekitar Bidakara, Pancoran tempat acara
berlangsung, terkena banjir. Kedua mantan siswi SMA Indonesia itupun mengaku
basah kuyup karena kehujanan. (Emang pake motor ya? Pikir saya)
Sampai saat ini saya merasa masih belum mengenal
keduanya. Kalaupun terjadi kontak, saya merasa keduanya adalah orang yang
berbeda, bukan kedua siswi SMA yang saya temui dulu di L'alliance Francais
Islamabad. Jeda waktu 20 tahun lebih membuat bayangan awal seperti berkarat dan
tidak mudah disingkirkan. Seolah ada sesuatu
yang hilang ditelan masa dan tiba-tiba muncul dengan bentuk kehidupan
yang "lengkap" dan hampir sempurna. Dulu mereka periang dan kenes
dengan rambut terurai ke bahu serta seragam sekolah yang sederhana. Setelah 24
tahun tiba-tiba keduanya muncul dalam postur dewasa, lengkap dengan jilbab,
suami dan keluarga masing-masing, serta berada pada posisi kehidupan tertentu.
Saya merasa kehilangan sebuah proses dan maaf, saya tidak siap. Ada sesuatu
dalam diri yang tidak bisa menerima begitu saja. Bisa jadi ini akibat tempaan
pekerjaan sebagai bankir yang tidak mudah percaya pada sesuatu yang
"ujug-ujug" alias tiba-tiba.
Saya pikir biarlah semuanya berjalan seperti adanya. Toh
bagi mereka, saya juga seperti manusia yang baru muncul, karena selama ini
lebih banyak bergaul dengan buku daripada dengan orang. Tidak heran jika dalam
reuni kemarin banyak mantan pegawai kedutaan yang bertanya, "Yang namanya
Cecep itu yang mana sih?"
Namun saya bersyukur karena keduanya sudah menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat. Kakaknya
bekerja di sebuah kementrian, sementara adiknya jadi psikolog pada
sebuah perusahaan.
Yang saya tahu keduanya masih ingat kejadian di
L'alliance Francaise itu dan meminta maaf karenanya. Saya sendiri sudah
memaafkan mereka sejak saat itu terjadi. De riens, ma soeurs. Lagipula
seharusnya saya juga minta maaf karena tiketnya tidak saya beli kan?
Ini hanya sebuah intermezzo dalam sebuah rentang waktu
yang relative panjang. Tidak terlalu signifikan dalam pahit-manis perjalanan
hidup yang saya lalui. Tidak ada yang spesial jika kita menganggapnya biasa kan? Il n'a rien de spécial si nous pensons comme d'habitude, est-ce pas?
Saya menulisnya karena teringat ucapan rekan Obeng suatu hari. Bahwa bisa jadi, suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali dengan sesuatu yang hilang, walaupun kita tidak mencarinya. Ternyata itulah yang terjadi. Sejarah nampaknya sedang berusaha mengulang dirinya. Hanya saja pengulangan itu begitu drastis terasa, dan maaf, saya tidak siap untuk itu.
Saya menulisnya karena teringat ucapan rekan Obeng suatu hari. Bahwa bisa jadi, suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali dengan sesuatu yang hilang, walaupun kita tidak mencarinya. Ternyata itulah yang terjadi. Sejarah nampaknya sedang berusaha mengulang dirinya. Hanya saja pengulangan itu begitu drastis terasa, dan maaf, saya tidak siap untuk itu.
Saya lalu teringat rekan Obeng dan membaca Fatihah
untuknya. Dia ditakdirkan telah mendahului kami menghadap Tuhan beberapa tahun
lalu. Semoga dia tenang di alam sana dan ditempatkan di tempat terbaik disisinya. Amiin
Setitik airmata menetes tanpa terasa.. mengiringi hujan deras di luar gedung...
Bidakara 22 Februari 2014
Reuni Keluarga Besar Indonesia Pakistan
No comments:
Post a Comment