Monday, March 3, 2014

Intermezzo sejarah: Kisah dua siswi SMA di Alliance Francais



Islamabad, tahun 1990. Suatu sore di musim semi.

Duduk termenung di lobby L'alliance Francais, Islamabad, bersiap menghadapi ujian conversation level 3. Kata orang, ujian di level ini termasuk yang paling berat. Makanya walaupun banyak PR, saya tetap menyisakan waktu untuk mempersiapkan diri. Dan mendekati detik-detik ujian perasaan pun jadi dag-dig-dug.


Tanpa diduga, tiba-tiba datang dua anak perempuan Indonesia menawarkan tiket konser sekolah. Keduanya cantik dalam seragam SMA mereka. Mereka siswi Sekolah Indonesia yang dikelola KBRI. Bedanya hanya di warna kulit. Yang satu putih yang satu lagi sawo matang. Setahu saya, keduanya adalah puteri seorang diplomat yang pindah tugas dari sebuah negara di Afrika barat, Keduanya juga ikut kursus bahasa Perancis disini, guna melanjutkan dan memperdalam apa yang mereka dapatkan dari negara sebelumnya. Mereka diterima di level yang lebih tinggi dari saya.

***
Saya tidak terlalu mengenal mereka. Kesibukan kuliah di fakultas ekonomi (fakultas berat yang dikenal paling tidak favorit diantara rekan2 yang umumnya berlatar belakang pesantren) membuat saya tidak punya banyak waktu untuk bergaul dengan para pegawai kedutaan dan keluarganya. Kita ngumpul paling-paling kalau ada acara seperti lebaran, 17 agustusan atau maulid. Kalaupun saya sering ikut teman-teman olahraga jumat pagi di lapangan milik kedutaan, saya lebih fokus pada perbaikan teknik bermain bola volley daripada ngobrol dan becanda. Selesai volley, selesai pula urusan. Terus cari buah segar di Juma bazaar di sekitar Aabpara, yang kalau musim dingin tiba, murah-murah harganya.

***
Kehadiran mereka secara tiba-tiba tentu saja membuat kaget. Kenal saja tidak, tiba-tiba ngajak ngobrol dan nawarin tiket, hanya karena -kata mereka- saya terlihat sering main gitar dan pasti suka musik. Karuan saja konsentrasi saya jadi buyar. Persiapan ujian yang sudah dilakukan sejak malam, dengan memanfaatkan sisa waktu mengerjakan PR-PR, hilang begitu saja. Saya gugup dan tidak bisa banyak bicara. Akhirnya dengan rasa menyesal saya tolak tawaran keduanya. Padahal buat saya ide konser pelajar SMP-SMA itu menarik dan spektakuler. Di negeri konservatif -dan dengan bahasa yang kita sendiri malas mempelajarinya- seperti Pakistan ini, hiburan ala Indonesia sekecil apapun pasti akan jadi tontonan yang mengasyikkan.

Keduanya kemudian berlalu dan terlihat kecewa, sedangkan saya harus berjuang mengembalikan sisa2 hafalan yang berserakan akibat interupsi dadakan dari dua gadis cantik itu. Dan apa yang saya khawatirkan pun terjadi. Ujian kenaikan level yang saya lalui jadi tidak mudah. Walaupun saya pernah baca semuanya tadi malam, tapi buyarnya konsentrasi sedikit banyak ada pengaruhnya juga. Tapi ya sudahlah, pikir saya. Que sera sera. Yang penting lulus dan bisa naik ke level berikutnya.

Saya pulang ke kampus dan mampir terlebih dahulu di rumah kediaman pegawai KBRI lain, yang lebih saya kenal. Karena masih tertarik dengan ide konser pelajar, akhirnya saya beli juga tiket konser itu 2 lembar, dari salah seorang puteranya (yang juga siswa SMA Indonesia), yang kebetulan sering main gitar bareng. Saya berniat mengajak rekan Obeng (nama panggilan untuk Ahmad Zubair Murikh untuk  adik kelas di fakultas ekonomi asal Bekasi)  untuk ikut nonton.  (Tapi ujung-ujungnya malah Obeng yang punya kesempatan menyaksikan konser itu. Saya sendiri harus konsentrasi pada persiapan ujian ekonometrik di hari berikutnya.  Tiket yang satu lagi akhirnya diberikan Obeng pada sohib Chiyar Hijazi, teman fakultas lain yang seangkatan asal Makassar, yang memang kebetulan punya waktu senggang).

***
Sore itupun  dari Alliance Francais saya mampir juga ke asramanya. Padahal kalau pulang dari sana saya harus mengambil rute yang lebih panjang dan susah.
Obeng begitu senang menerima tiket itu, meskipun jelas tergambar rasa heran di wajahnya. Sebab, tidak biasanya saya tertarik dengan kegiatan di kedutaan walaupun dia tahu saya suka musik. Dia bertanya dari mana saya mendapatkan tiket itu. Saya bilang saya beli dari Sapto walaupun sebelumnya ada dua siswi SMA Indonesia yang menawarkan untuk beli di tempat kursus bahasa Prancis.
Mendengar jawaban itu mendadak wajah Obeng jadi serius.
“Mereka kursus bahasa Perancis juga?”
“Kayaknya begitu, cuma levelnya lebih tinggi.”
“Tau namanya?”
Kini si tall man itu tersenyum. Dengan badan yang jangkung dan rambut acak-acakan seperti itu senyumnya seolah mengejek kepolosan saya.
“Ya tahu dong. Aku juga tau koq, keduanya kakak beradik. Cuma yang mana kakaknya dan yang mana adiknya, aku ngga tau.”
"Joy…joy," katanya dengan menyebut nama panggilan saya waktu di pondok, "yang namanya kuper (kurang pergaulan) itu jangan dipelihara, tau...?”
"Emang kenapa?"tanya saya polos.
“Apa ente nggak tahu, kedua cewek itu jadi primadona teman-teman disini?"
“Masak sih?” 
Obeng geleng-geleng kepala dengan jawabanku. Masih dengan senyumnya yang sinis.
“Ente nggak nanya-nanya?”
“Nggak..... Nanya apaan?”
"Apa keq, basa-basi lah, namanya juga orang Indonesia. Misalnya namanya, darimana asalnya …. Buat masti-in aja.”
“Nggak. Buat apaan... kan udah tau?”
“Ya ampun. Ente mestinya bisa improvisasi lah. Ente kan seneng jazz, musik yang  banyak improvisasinya. Masak sama cewek mesti pake statistik, kaku begitu".
"Abis, orang mau ujian ditawarin beli tiket. Cewek pula yang nawarin.” (Ketusku keluar). “ Tau sendiri aku paling grogi kalau sama cewek."
Kali ini Obeng tertawa keras (Brengsek tu anak)
“Ya beli aja, kan bisa jadi modal. Terus pendekatan deh...”
“Gila…  Ente pikir mereka matre ya? Bokapnya kan diplomat. ... Lagian kalau aku beli apa terus mereka pergi begitu aja? Ntar ngobrol panjang lagi… Bisa ancur ujianku”
Obeng ketawa geli.
"Kalau grogi begitu, itu tandanya ente naksir. Hati-hati lho..."
Kali ini ekspresinya serius lagi.
"Heh, naksir? Kenal juga nggak... Emang kenapa pake hati-hati segala?"
"Wah kalau bener ente naksir, bisa jadi all-Bekasi final neh".
"Maksudnya? Ente naksir juga…?"  
Kali ini saya yang bingung karena nggak ngerti apa yang dikatakannya.
Obeng ketawa lagi, semakin kencang. (Kacau ni anak. Dari dulu kerjanya memang suka ngerjain temen kayak saya)
"Joy, sejak kapan ane berani naksir sama kembang desa?” tanyanya sambil cengengesan.”Kita kan proletar, nggak bisa lah kita keep up with the johns …”
(Huh, belagu. Mentang-mentang lulusan LIA level 6)
“Lha terus, siapa donk yang lagi kompetisi?”
“Payah ah. Makanya bergaul... jangan di perpustakaan melulu. Udah deh, ntar ana ceritain di konser aja. Tuh dicariin anak Afsel yang mau ngerjain pe-er statistik. Katanya dia tadi ke asrama Faisal Masjid, entenya ngga ada."

***

Seminggu  setelah acara konser yang tidak jadi saya tonton itu Obeng datang ke asrama saya, di bawah bukit Margala, di samping Faisal Mosque, masjid yang strukturnya paling spektakuler di seantero Pakistan. Ditemani udara sejuk musim semi dan kopi susu yang hangat, kami pun ngobrol semalam suntuk. Ada juga Syamsul Falah, junior lain di fakultas ekonomi dari Bekasi. Saya ingat sekali saat itu malam Jumat (malam libur di Pakistan), karena habis Subuh ada teman yang namanya Fikri, jago smash asal Madura, mengajak main volley di kedutaan. Tapi saya tolak karena ngantuk...

Tidak banyak cerita yang menarik dari Obeng. Selebihnya adalah kisah cinta para remaja-mahasiswa Indonesia di Islamabad dan persaingan diantara mereka. Sepanjang obrolan, saya merasa seperti berada di dunia yang berbeda dari yang Obeng ceritakan, alias ngga nyambung. Saya pikir semua itu tidak ada kaitannya dengan kesulitan saya dalam memahami teori-teori ekonomi. Bisa jadi Obeng benar, saya ini kurang bergaul. Padahal Islamabad ini kota kecil. Hal-hal yang seharusnya sudah diketahui lewat rekan-rekan, saya malah ketinggalan.

Tapi saya pikir terlalu mahal rasanya mempertaruhkan kesempatan kuliah disini dengan banyak hiburan yang hanya sekejap menghilangkan rasa penat. Padahal masa depan kita juga belum pasti setelah pulang dari Pakistan, meskipun kita sukses menaklukkan “rimba perkuliahan” (istilah Obeng untuk dunia universitas). Apa yang bisa dibanggakan dari seorang sarjana ekonomi lulusan Islamic University di Pakistan? Selain itu, rasanya saya terlalu tua untuk hal seperti ini, karena masa remaja saya udah lewat. Yang tersisa hanyalah tanggungjawab terhadap orangtua dan ummat…

Lalu hari-haripun berlalu seperti biasa dan saya kembali tenggelam dalam kegiatan kampus.

*******
Hari ini di Jakarta 24 tahun kemudian.

Sebuah sms muncul di hp saya, isinya memperkenalkan diri sebagai mantan siswi SIIP dan ingin hadir dalam acara reuni masyarakat Indonesia yang disponsori KBRI Islamabad. Tadinya saya tidak memperhatikan siapa pengirimnya. Ah, paling-paling anak SIIP lainnya. Setelah dua tiga kali sms, baru saya sadar rupanya pengirimnya adalah salah satu dari kedua gadis SMA yang dulu saya jumpai di L'lliance Francais. Mereka mau ikut reuni masyarakat Indonesia yang pernah tinggal di Pakistan, yang disponsori oleh KBRI Islamabad. Kebetulan saya jadi kordinatornya. Saya sms kembali sambil meyakinkan bahwa mereka ditunggu sampai jam 4 sore. Saya minta bantuan Adam Bakhtiar, kordinator lain untuk menunggu di luar, sebab dia juga menerima sms yang sama.

Sayangnya takdir menentukan kita tidak bisa bertemu. Karena, walaupun keduanya datang tapi mereka tidak lama berada disitu. Saya pun tidak sempat menemui mereka. Kalaupun kita bertemu belum tentu juga saya mengenali keduanya.

Hujan deras yang mengguyur Jakarta sejak semalam sebelumnya benar-benar merupakan ujian  buat orang untuk hadir. Jalan sekitar Bidakara, Pancoran tempat acara berlangsung, terkena banjir. Kedua mantan siswi SMA Indonesia itupun mengaku basah kuyup karena kehujanan. (Emang pake motor ya? Pikir saya)

Sampai saat ini saya merasa masih belum mengenal keduanya. Kalaupun terjadi kontak, saya merasa keduanya adalah orang yang berbeda, bukan kedua siswi SMA yang saya temui dulu di L'alliance Francais Islamabad. Jeda waktu 20 tahun lebih membuat bayangan awal seperti berkarat dan tidak mudah disingkirkan. Seolah ada sesuatu  yang hilang ditelan masa dan tiba-tiba muncul dengan bentuk kehidupan yang "lengkap" dan hampir sempurna. Dulu mereka periang dan kenes dengan rambut terurai ke bahu serta seragam sekolah yang sederhana. Setelah 24 tahun tiba-tiba keduanya muncul dalam postur dewasa, lengkap dengan jilbab, suami dan keluarga masing-masing, serta berada pada posisi kehidupan tertentu. Saya merasa kehilangan sebuah proses dan maaf, saya tidak siap. Ada sesuatu dalam diri yang tidak bisa menerima begitu saja. Bisa jadi ini akibat tempaan pekerjaan sebagai bankir yang tidak mudah percaya pada sesuatu yang "ujug-ujug" alias tiba-tiba.

Saya pikir biarlah semuanya berjalan seperti adanya. Toh bagi mereka, saya juga seperti manusia yang baru muncul, karena selama ini lebih banyak bergaul dengan buku daripada dengan orang. Tidak heran jika dalam reuni kemarin banyak mantan pegawai kedutaan yang bertanya, "Yang namanya Cecep  itu yang mana sih?"

Namun saya bersyukur karena keduanya sudah menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Kakaknya  bekerja di sebuah kementrian, sementara adiknya jadi psikolog pada sebuah perusahaan.
Yang saya tahu keduanya masih ingat kejadian di L'alliance Francaise itu dan meminta maaf karenanya. Saya sendiri sudah memaafkan mereka sejak saat itu terjadi. De riens, ma soeurs. Lagipula seharusnya saya juga minta maaf karena tiketnya tidak saya beli kan?

Ini hanya sebuah intermezzo dalam sebuah rentang waktu yang relative panjang. Tidak terlalu signifikan dalam pahit-manis perjalanan hidup yang saya lalui. Tidak ada yang spesial jika kita menganggapnya biasa kan? Il n'a rien de spécial si nous pensons comme d'habitude, est-ce pas?
Saya menulisnya karena teringat ucapan rekan Obeng suatu hari. Bahwa bisa jadi, suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali dengan sesuatu yang hilang, walaupun kita tidak mencarinya. Ternyata itulah yang terjadi. Sejarah nampaknya sedang berusaha mengulang dirinya. Hanya saja pengulangan itu begitu drastis terasa, dan maaf, saya tidak siap untuk itu.

Saya lalu teringat rekan Obeng dan membaca Fatihah untuknya. Dia ditakdirkan telah mendahului kami menghadap Tuhan beberapa tahun lalu. Semoga dia tenang di alam sana dan ditempatkan di tempat terbaik disisinya. Amiin
Setitik airmata menetes tanpa terasa.. mengiringi hujan deras di luar gedung...

Bidakara 22 Februari 2014
Reuni Keluarga Besar Indonesia Pakistan

No comments:

Post a Comment

You Never Be Alone

Sometimes we feel as if we were walking alone. Nobody is there to ask for a help. Suddenly a feeling of sad and hopeless comes up. The quest...